Airkolam itu sangat jernih, tenang, dan cemerlang bak loyang. Ketika Datuk Sakti sedang duduk beristirahat di bawah sebuah pohon besar, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sekumpulan wanita cantik yang terbang turun dari angkasa. Datuk Sakti terperanjat bukan alang kepalang. Datuk Sakti : "Amboi, elok sangat gadis-gadis itu. Padasuatu malam, ditengah tidurnya yang lelap, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri seorang bidadari nan cantik jelita dari kayangan. Begitu terbangun dan menyadari bahwa itu semua hanya mimpi, Jaka Tarub tersenyum sendiri. Walaupun demikian, mimpi indah barusan masih terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub tidak dapat tidur lagi. 28/ 08 / 2015 Kalau kamu sering membaca-baca beragam dongeng zaman dulu, pasti kamu bakalan sering menemukan cerita tentang bidadari yang memiliki paras cantik yang turun ke bumi dari kayangan. Dalam bahasa Sansekerta, bidadari bisa berarti Vidhyadhari yang berarti sejuta cerita. Dari sinilah kemudian cerita tentang bidadari bermula. TikTokvideo from Broo Langi (@broolangi): "Ketika bidadari turun dari kayangan untuk ikutan kompetisi Sweet moment di Tepok Bulu VinDes.. #fyp #vindes #tepokbulu #anyageraldine #raisa @Anya Geraldine 🤍 @RAISA6690". Menang ga menang kalian tetap PEMENANG . suara asli - Broo Langi. Merekaadalah tujuh bidadari dari kayangan. Jaka Tarub pun memperhatikan ketujuh bidadari itu dari semak-semak, agar mereka tak melihatnya. "Cantik sekali mereka. Andai aku bisa menikah dengan salah satu dari mereka," gumam Jaka Tarub. Aha! Jaka Tarub mempunyai ide. Dengan perlahan, Jaka Tarub mendekat ke sungai. Tahun60-an atau jauh sebelum itu sarana komunikasi masih sulit, arus informasi masih sangat lambat. Media komunikasi terbatas pada koran yang belum banyak, baik jenis maupun jumlahnya dan radio itupun hanya RRI. Buku juga masih mahal dan terbatas. Alhasil penyebaran informasi lebih banyak dari mulu AlasanBidadari itu turun adalah untuk memberi selamat kepada Ken Dedes sebagai wanita yang kelak akan melahirkan dan sebagian besar di Pulau Jawa.Dongeng itu dapat dari cerita seorang kakek tua yang berhasil memiliki salah satu dari bidadari tersebut. Tapi Gajah Mada tidak percaya karena anaksi kakek sama sekali tidak ada yang berparas jelita. BidadariTurun Dari Kayangan फेसबुकमा छ । Join Facebook to connect with Bidadari Turun Dari Kayangan and others you may know bhd0K7. Pada jaman dahulu hidup seorang pemuda bernama Jaka Tarub di sebuah desa di daerah Jawa Tengah. Ia tinggal bersama ibunya yang biasa dipanggil Mbok Milah. Ayahnya sudah lama meninggal. Sehari hari Jaka Tarub dan Mbok Milah bertani padi di sawah. Pada suatu malam, ditengah tidurnya yang lelap, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri seorang bidadari nan cantik jelita dari kayangan. Begitu terbangun dan menyadari bahwa itu semua hanya mimpi, Jaka Tarub tersenyum sendiri. Walaupun demikian, mimpi indah barusan masih terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub tidak dapat tidur lagi. Ia keluar dan duduk di ambengan depan rumahnya sambil menatap bintang bintang di langit. Tak terasa ayam jantan berkokok tanda hari sudah pagi. Mbok Milah yang baru terjaga menyadari kalau Jaka Tarub tidak ada di rumah. Begitu ia melihat keluar jendela, dilihatnya anak semata wayangnya sedang melamun. “Apa yang dilamunkan anakku itu”, pikir Mbok Milah. Ia menebak mungkin Jaka Tarub sedang memikirkan untuk segera berumah tangga. Usianya sudah lebih dari cukup. Teman teman sebayanyapun rata rata telah menikah. Pikirannya itu membuat Mbok Milah berniat untuk membantu Jaka Tarub menemukan istri. Siang hari ketika Mbok Milah sedang berada di sawah, tiba tiba datang Pak Ranu pemilik sawah sebelah menghampirinya. “Mbok Milah, mengapa anakmu sampai saat ini belum menikah juga ?”, tanya Pak Ranu membuka percakapan. “Entahlah”, kata Mbok Milah sambil mengingat kejadian tadi pagi. “Ada apa kau menanyakan itu Pak Ranu ?”, tanya Mbok Milah. Ia sedikit heran kenapa Pak Ranu tertarik dengan kehidupan pribadi anaknya. “Tidak apa apa Mbok Milah. Aku bermaksud menjodohkan anakmu dengan anakku Laraswati”, jawab Pak Ranu. Mbok Milah terkejut mendengar niat Pak Ranu yang baru saja diutarakan. Ia sangat senang. Laraswati adalah seorang gadis perparas cantik yang tutur katanya lemah lembut. Ia yakin kalau Jaka Tarub mau menjadikan Laraswati sebagai istrinya. Walaupun demikian Mbok Milah tidak ingin mendahului anaknya untuk mengambil keputusan. Biar bagaimanapun ia menyadari kalau Jaka Tarub sudah dewasa dan mempunyai keinginan sendiri. “Aku setuju Pak Ranu. Tapi sebaiknya kita bertanya dulu pada anak kita masing masing”, kata Mbok Milah bijak. Pak Ranu mengangguk angguk. Ia pikir apa yang dikatakan Mbok Milah benar adanya. Hari berganti hari. Mbok Milah belum juga menemukan waktu yang tepat untuk membicarakan rencana perjodohan Jaka Tarub dan Laraswati. Ia takut Jaka Tarub tersinggung. Mungkin juga Jaka Tarub telah memiliki calon istri yang belum dikenalkan padanya. Lama kelamaan Mbok Milah lupa akan niatnya semula. Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu. Ia juga seorang pemburu yang handal. Keahliannya itu diperolehnya dari mendiang ayahnya. Jaka Tarub seringkali diajak berburu oleh ayahnya sedari kecil. Pagi itu Jaka Tarub telah siap berburu ke hutan. Busur, panah, pisau dan pedang telah disiapkannya. Iapun pamit pada ibunya. Mbok Milah terlihat biasa biasa saja melepaskan kepergian Jaka Tarub. Ia berharap anaknya itu akan membawa pulang seekor menjangan besar yang bisa mereka makan beberapa hari ke depan. Tak lama kemudian Mbok Milah masuk ke kamarnya. Ia bermaksud beristrihat sejenak sebelum berangkat ke sawah. Maklumlah, Mbok Milah sudah tua. Tak memakan waktu lama di tengah hutan, Jaka tarub berhasil memanah seekor menjangan. Hatinya senang. Segera saja ia memanggul menjangan itu dan bermaksud segera pulang. Nasib sial rupanya datang menghampiri. Tengah asyik berjalan, tiba tiba muncul seekor macan tutul di hadapan Jaka Tarub. Macan itu mengambil ancang ancang untuk menyerang. Jaka tarub panik. Ia segera melepaskan menjangan yang dipanggulnya dan mencabut pedang dari pinggangnya. Sang macan bergerak sangat cepat. Ia segera menggigit menjangan itu dan membawanya pergi. Jaka Tarub terduduk lemas. Bukan hanya kaget atas peristiwa yang baru dialaminya, iapun merasa heran. Baru kali ini nasibnya sesial ini. Hewan buruan sudah ditangan malah dimangsa binatang buas. “Pertanda apa ini ?”, pikirnya. Jaka Tarub segera menepis pikiran buruk yang melintas di benaknya. Setelah beristirahat sejenak, ia segera berjalan lagi. Nasib sial belum mau meninggalkan Jaka tarub. Setelah berjalan dan menunggu beberapa kali, tak seekor hewan buruanpun yang melintas. Matahari makin meninggi. Jaka Tarub merasa lapar. Tak ada bekal yang dibawanya karena ia memang yakin tak akan selama ini berada di hutan. Akhirnya Jaka Tarub memutuskan untuk pulang walau dengan tangan hampa. Ketika Jaka Tarub mulai memasuki desanya, ia heran melihat banyak orang yang berjalan tergesa gesa menuju ke arah yang sama. Bahkan ada beberapa orang yang berpapasan dengannya terlihat terkejut. Walaupun merasa heran Jaka Tarub enggan untuk bertanya. Rasa lapar yang menderanya membuat Jaka Tarub ingin cepat cepat sampai di rumah. Jaka Tarub tertegun memandang rumahnya yang sudah nampak dari kejauhan. Banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Bahkan orang orang yang tadi dilihatnya berjalan tergesa gesa ternyata menuju ke rumahnya juga. “Ada apa ya ?”, pikirnya. Jaka Tarub mulai tidak enak hati. Ia segera berlari menuju rumahnya. “Ada apa ini ?”, tanya Jaka Tarub setengah berteriak. Orang orang terkejut dan menoleh kearahnya. Pak Ranu yang memang menunggu kedatangan Jaka Tarub sedari tadi langsung menghampiri dan menepuk nepuk bahu Jaka Tarub. “Sabar nak..”, katanya sambil membimbing Jaka Tarub memasuki rumah. Mata Jaka Tarub langsung tertuju pada sesosok tubuh yang terbujur kaku diatas dipan di ruang tengah. Beberapa detik kemudian Jaka Tarub menyadari kalau ibunya telah meninggal. Jaka Tarub tak sanggup menahan air mata. Inilah bukti atas firasat buruk yang kurasakan sejak pagi, pikirnya. Jaka Tarub tak sanggup berbuat apa apa. Ia hanya termenung memandang wajah Mbok Milah. Cerita Pak Ranu bahwa istrinya yang menemukan Mbok Milah telah meninggal dunia dalam tidurnya tadi pagi tak dihiraukannya. Ia merenungi nasibnya yang kini sebatang kara. Jaka Tarub juga menyesal belum memenuhi keinginan ibunya melihat ia berumah tangga dan menimang cucu. Tapi semua tinggal kenangan. Kini ibunya telah beristirahat dengan tenang. Sepeninggal ibunya, Jaka Tarub mengisi hari harinya dengan berburu. Hampir setiap hari ia berburu ke hutan. Hasil buruannya selalu ia bagi bagikan ke tetangga. Hanya dengan berburu, Jaka Tarub bisa melupakan kesedihannya. Seperti pagi itu, Jaka Tarub telah bersiap siap untuk berangkat berburu. Dengan santai ia berjalan menuju Hutan Wanawasa karena hari masih pagi. Ketika sampai di hutanpun Jaka tarub hanya menunggu hewan buruan lewat di depannya. Tak terasa hari sudah siang. Tak satupun hewan buruan yang didapat Jaka Tarub. Ia justru lebih banyak melamun. Karena rasa haus yang baru dirasakannya, Jaka Tarub melangkahkan kakinya kea rah danau. Danau yang terletak di tengah Hutan Wanawasa itu dikenal masyarakat sebagai Danau Toyawening. Ketika hampir sampai di danau itu, Jaka Tarub menghentikan langkah kakinya. Telinganya menangkap suara gadis gadis yang sedang bersenda gurau. “Mungkin ini hanya hayalanku saja”, pikirnya heran.”Mana mungkin ada gadis gadis bermain main di tengah hutan belantara begini ?”. Dengan mengendap endap Jaka Tarub melangkahkan kakinya lagi menuju Danau Toyawening. Suara tawa gadis gadis itu makin jelas terdengar. Jaka Tarub mengintip dari balik pohon besar kearah danau. Alangkah terkejutnya Jaka Tarub menyaksikan tujuh orang gadis cantik sedang mandi di Danau Toyawening. Jantungnya berdegub makin kencang. Jaka Tarub memperhatikan satu satu gadis di danau itu. Semuanya berparas sangat cantik. Dari percakapan mereka, Jaka Tarub tahu kalau tujuh orang gadis itu adalah bidadari yang turun dari kayangan. “Apakah ini arti mimpiku waktu itu ?”, pikirnya senang. Mata Jaka Tarub melihat tumpukan pakaian bidadari di atas sebuah batu besar di pinggir danau. Semua pakaian itu memiliki warna yang berbeda. “Jika aku mengambil salah satu pakaian bidadari ini, tentu yang punya tidak akan dapat kembali ke kayangan”, gumam Jaka Tarub. Wajahnya dihiasi senyum manakala membayangkan sang bidadari yang bajunya ia curi akan bersedia menjadi istrinya. Dengan hati hati Jaka Tarub berjalan menghampiri tumpukan baju itu. Ia berjalan sangat perlahan. Jika para bidadari itu menyadari kehadirannya, tentu semua rencananya akan buyar. Jaka Tarub memilih baju berwarna merah. Setelah berhasil, Jaka Tarub buru buru menyelinap ke balik semak semak. Tiba tiba seorang dari bidadari itu berkata “, Ayo kita pulang sekarang. Hari sudah sore”. “Ya benar. Sebaiknya kita pulang sekarang sebelum matahari terbenam”, tambah yang lain. Para bidadari itu keluar dari danau dan mengenakan pakaian mereka masing masing. “Dimana bajuku ?”, teriak salah seorang bidadari. “Siapa yang mengambil bajuku ?”, tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis. “Dimana kau taruh bajumu Nawangwulan ?”, tanya seorang bidadari kepadanya. “Disini. Sama dengan baju kalian..”, Nawangwulan menjawab sambil menangis. Ia terlihat sangat panik. Tanpa bajunya, mana mungkin ia bisa pulang ke Kayangan. Apalagi selendang yang dipakainya untuk terbang ikut raib juga. Karena Nawangwulan tidak menemukan bajunya, ia segera masuk kembali ke Danau Toyawening. Teman temannya yang lain membantu mencari baju Nawangwulan. Usaha mereka sia sia karena baju Nawangwulan sudah dibawa pulang Jaka Tarub ke rumahnya. Akhirnya seorang bidadari berkata “Nawangwulan, maafkan kami. Kami harus segera pulang ke kayangan dan meninggalkanmu disini. Hari sudah menjelang sore”. Nawangwulan tidak dapat berbuat apa apa. Ia hanya bisa mengangguk dan melambaikan tangan kepada keenam temannya yang terbang perlahan meninggalkan Danau Toyawening. “Mungkin memang nasibku untuk menjadi penghuni bumi”, pikir Nawangwulan sambil mencucurkan air mata. Nawangwulan kelihatan putus asa. Tiba tiba tanpa sadar ia berucap “Barangsiapa yang bisa memberiku pakaian akan kujadikan saudara bila ia perempuan, tapi bila ia laki laki akan kujadikan suamiku”. Jaka Tarub yang sedari tadi memperhatikan gerak gerik Nawangwulan dari balik pohon tersenyum senang. “Akhirnya mimpiku menjadi kenyataan”, pikirnya. Jaka Tarub keluar dari persembunyiannya dan berjalan kearah danau. Ia membawa baju mendiang ibunya yang diambilnya ketika pulang tadi. Jaka Tarub segera meletakkan baju yang dibawanya diatas sebuah batu besar seraya berkata “Aku Jaka Tarub. Aku membawakan pakaian yang kau butuhkan. Ambillah dan pakailah segera. Hari sudah hampir malam”. Jaka Tarub meninggalkan Nawangwulan dan menunggu di balik pohon besar tempatnya bersembunyi. Tak lama kemudian Nawangwulan datang menemuinya. “Aku Nawangwulan. Aku bidadari dari kayangan yang tidak bisa kembali kesana karena bajuku hilang”, kata Nawangwulan memperkenalkan diri. Ia memenuhi kata kata yang diucapkannya tadi. Tanpa ragu Nawangwulan bersedia menerima Jaka Tarub sebagai suaminya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tak terasa rumah tangga Jaka Tarub dan Nawangwulan telah dikaruniai seorang putri yang diberi nama Nawangsih. Tak seorangpun penduduk desa yang mencurigai siapa sebenarnya Nawangwulan. Jaka Tarub mengakui istrinya itu sebagai gadis yang berasal dari sebuah desa yang jauh dari kampungnya. Sejak menikah dengan Nawangwulan, Jaka Tarub merasa sangat bahagia. Namun ada satu hal yang mengganggu pikirannya selama ini. Jaka Tarub merasa heran mengapa padi di lumbung mereka kelihatannya tidak berkurang walau dimasak setiap hari. Lama lama tumpukan padi itu semakin meninggi. Panen yang diperoleh secara teratur membuat lumbung mereka hampir tak muat lagi menampungnya. Pada suatu pagi, Nawangwulan hendak mencuci ke sungai. Ia menitipkan Nawangsih pada Jaka Tarub. Nawangwulan juga mengingatkan suaminya itu untuk tidak membuka tutup kukusan nasi yang sedang dimasaknya. Ketika sedang asyik bermain dengan Nawangsih yang saat itu berumur satu tahun, Jaka Tarub teringat akan nasi yang sedang dimasak istrinya. Karena terasa sudah lama, Jaka Tarub hendak melihat apakah nasi itu sudah matang. Tanpa sadar Jaka Tarub membuka kukusan nasi itu. Ia lupa akan pesan Nawangwulan. Betapa terkejutnya Jaka Tarub demi melihat isi kukusan itu. Nawangwulan hanya memasak setangkai padi. Ia langsung teringat akan persediaan padi mereka yang semakin lama semakin banyak. Terjawab sudah pertanyaannya selama ini. Nawangwulan yang rupanya telah sampai di rumah menatap marah kepada suaminya di pintu dapur. “Kenapa kau melanggar pesanku Mas ?”, tanyanya berang. Jaka Tarub tidak bisa menjawab. Ia hanya terdiam. “Hilanglah sudah kesaktianku untuk merubah setangkai padi menjadi sebakul nasi”, lanjut Nawangwulan. “Mulai sekarang aku harus menumbuk padi untuk kita masak. Karena itu Mas harus menyediakan lesung untukku”. Jaka Tarub menyesali perbuatannya. Tapi apa mau dikata, semua sudah terlambat. Mulai hari itu Nawangwulan selalu menumbuk padi untuk dimasak. Mulailah terlihat persediaan padi mereka semakin lama semakin menipis. Bahkan sekarang padi itu sudah tinggal tersisa di dasar lumbung. Seperti biasa pagi itu Nawangwulan ke lumbung yang terletak di halaman belakang untuk mengambil padi. Ketika sedang menarik batang batang padi yang tersisa sedikit itu, Nawangwulan merasa tangannya memegang sesuatu yang lembut. Karena penasaran, Nawangwulan terus menarik benda itu. Wajah Nawangwulan seketika pucat pasi menatap benda yang baru saja berhasil diraihnya. Baju bidadari dan selendangnya yang berwarna merah.. !! Bermacam perasaan berkecamuk di hatinya. Nawangwulan merasa dirinya ditipu oleh Jaka Tarub yang sekarang telah menjadi suaminya. Ia sama sekali tidak menyangka ternyata orang yang tega mencuri bajunya adalah Jaka Tarub. Segera saja keinginan yang tidak pernah hilang dari hatinya menjadi begitu kuat. Nawangwulan ingin pulang ke asalnya, kayangan. Sore hari ketika Jaka Tarub kembali ke rumahnya, ia tidak mendapati Nawangwulan dan anak mereka Nawangsih. Jaka Tarub mencari sambil berteriak memanggil Nawangwulan, yang dicari tak jua menjawab. Saat itu matahari sudah mulai tenggelam. Tiba tiba Jaka Tarub yang sedang berdiri di halaman rumah melihat sesuatu melayang menuju ke arahnya. Dia mengamatinya sesaat. Jaka Tarub terpana. Beberapa saat kemudian ia mengenali ternyata yang dilihatnya adalah Nawangwulan yang menggendong Nawangsih. Nawangwulan terlihat sangat cantik dengan baju bidadari lengkap dengan selendangnya. Jaka Tarub merasa dirinya gemetar. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Nawangwulan berhasil menemukan kembali baju bidadarinya. Hal ini berarti rahasianya telah terbongkar. “Kenapa kau tega melakukan ini padaku Jaka Tarub ?”, tanya Nawangwulan dengan nada sedih. “Maafkan aku Nawangwulan”, hanya itu kata kata yang sanggup diucapkan Jaka Tarub. Ia terlihat sangat menyesal. Nawangwulan dapat merasakan betapa Jaka Tarub tidak berdaya di hadapannya. “Sekarang kau harus menanggung akibat perbuatanmu Jaka Tarub”, kata Nawangwulan. “Aku akan kembali ke kayangan karena sesungguhnya aku ini seorang bidadari. Tempatku bukan disini”, lanjutnya. Jaka Tarub tidak menjawab. Ia pasrah akan keputusan Nawangwulan. “Kau harus mengasuh Nawangsih sendiri. Mulai saat ini kita bukan suami istri lagi”, kata Nawangwulan tegas. Ia menyerahkan Nawangsih ke pelukan Jaka Tarub. Anak kecil itu masih tertidur lelap. Ia tidak sadar bahwa sebentar lagi ibunya akan meninggalkan dirinya. “Betapapun salahmu padaku Jaka Tarub, Nawangsih tetaplah anakku. Jika ia ingin bertemu denganku suatu saat nanti, bakarlah batang padi, maka aku akan turun menemuinya”, tutur Nawangwulan sambil menatap wajah Nawangsihbakar”, lanjut Nawangwulan. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Poniman, seorang kakek dari tiga orang cucu, memulai ceritanya di suatu senja di beranda rumahnya yang teduh dimana dirinya dikelilingi ketiga orang cucunya. "Dulu punya dulu sekali, ada sebuah negeri bernama Negeri Kayangan. Kenapa sampai disebut Negeri Kayangan, konon katanya, negeri itu kerap didatangi oleh bidadari-bidadari dari surga."Poniram, cucu laki-lakinya yang paling tua, menyela, "Pasti negeri itu sangat indah sekali.""Diam kau, Poniram," bentak sang Kakek. "Biarkan dulu Kakek bercerita sampai habis. Setelah itu, kau dan saudara-saudaramu yang lain bisa bertanya pada-atau-menanggapi cerita Kakek." "Betul itu, Kek," Painem, cucu perempuanya yang tertua, kakak dari Poniram, menimpali. "Poniram selalu begitu, Kek, suka menyela di antara pembicaraan orang lain. Hei kau, Poniram, kebiasaanmu itu sangat buruk dan menjengkelkan. Kau tahu tidak, itu sangat tidak sopan!" "Kalian berdua sama saja, sama-sama tidak tahu sopan santun, selalu menyela pembicaraan orang yang lebih tua dari Kalian," kata Poniman dengan kesal yang kedua matanya melotot seakan-akan ingin melompat keluar dari tempatnya. "Mau tidak Kakek lanjutkan ceritanya?""Mau..mau, Kek," sahut mereka serempak."Kalau begitu," ujar Poniman, "Kakek tidak mau mendengar ada yang bersuara sebelum Kakek ijinkan, paham Kalian?!" Poniram dan kedua saudaranya yang lain hanya menganggukkan kepala. Melihat hal itu, Poniman tersenyum bangga dan, dagunya sedikit dinaikkan ke atas, terlihat seperti orang yang baru saja menaklukkan segerombolan anak-anak anjing liar. "Oh ya, cerita Kakek tadi sampai dimana?" Poniman memegang dagunya yang sedikit memanjang dan hitam, tampak seperti seekor anjing hitam tua. "Kakek sudah ingat sekarang," serunya dengan mata berbinar. "Di kala senja, Kalian tidak akan sulit untuk menjumpai pelangi meluncur turun dari lengkung langit ke danau yang airnya biru, bening, untuk membersihkan tubuhnya yang kotor agar warna-warni tubuhnya semakin bersih dan terang. Saking beningnya air danau itu, dasarnya dapat Kalian lihat dari permukaannya yang tinggi. Seringkali juga bidadari-bidadari turun dari Surga, mandi dan mencuci selendangnya. Bahkan beberapa rakyat Negeri Kayangan itu sempat mendengarkan pembicaraan di antara para bidadari-bidadari itu, katanya, Negeri Kayangan lebih indah dan cantik daripada Surga," Poniman bercerita dengan penuh semangat membuat nafas tuanya terengah-engah. Ia mengambil nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan lagi, "Ketika malaikat-malaikat turun dari langit, dan telah melihat keindahan dan kecantikan alam Negeri Kayangan, juga rakyatnya yang ramah, para malaikat itu enggan untuk kembali naik ke langit. Ini juga, konon katanya, Negeri Kayangan lebih damai dan tenang daripada Surga." Poniman bertutur dengan lancarnya. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Lihat Cerpen Selengkapnya Telaga Tumatenden-Airmadidi, Minahasa Utara, Sulawesi Utara Kisah tentang bidadari yang turun dari kayangan untuk mandi di bumi, tidak hanya ada di tanah Jawa saja, di Airmadidi, Minahasa Utara pun memiliki kisah serupa. Berdasarkan cerita rakyat Kelurahan Airmadidi Bawah, konon lokasi dimana tempat pemandian yang dinamakan Tumatenden ini merupakan lokasi tempat mandi sembilan bidadari yang turun dari kayangan. Menurut cerita, seorang bidadari tak bisa kembali ke kayangan sebab selendang terbangnya hilang dicuri oleh seorang pemuda desa, yang bernama Mamanua yang memergoki sembilan bidadari ini mandi dalam kolam mata air ini. Mamanua, adalah seorang pemuda yang sangat rajin dan ulet dalam mengolah ladangnya. Pada suatu hari ia dikejutkan oleh kedatangan sembilan Bidadari yang sedang mandi. Saat itu pula timbul niatnya untuk mencuri salah satu bayu sayap dari seorang bidadari yang ternyata adalah milik bungsu dari sembilan bidadari, Mamanua membujuk Lumalundung untuk kawin dengannya tapi ada perjanjian kalau tidak boleh satupun dari rambut Lumalundung yang jatuh. Dari hasil perkawinan mereka lahirlah anak yang diberi nama Walang Sendow. Selama menempuh bahtera rumah tangga, keluarga ini tidak mengalami kesulitan apapun, hingga suatu ketika tidak diduga rambut Lumalundung jatuh dan selendang terbangnya ditemukan kembali oleh Lumalungdung. Meski dengan terpaksa dan berat hati, akhirnya ia meningalkan suami dan anaknya dan kembali ke kayangan. Konon Mamanua membuat sembilan pancuran di kolam dekat kebunnya agar Lumalundung tidak terus-menerus dirundung duka ingin bertemu dengan delapan saudaranya. Sembilan pancuran ini diberi nama Tumatenden Peristiwa hilangnya selendang satu bidadari ini ternyata merupakan akhir dari kebiasaan bidadari turun mandi ke Bumi. Mata air tempat mandi para bidadari ini, menurut warga sekitar, meski kemarau panjang, tetap akan mengeluarkan air. Dan dari air inilah pun diyakini warga sekitar, mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Tari Tumatenden Cerita rakyat Tumatenden inipun di apresiasikan dengan sebuah tarian yang dinamakan Tari Tumatenden, yang adalah sebuah nama tari yang diangkat dari cerita rakyat yang berhubungan dengan kisah Lumalundung dan Mamanua. Menurut fungsinya, jenis tari Tumatenden termasuk seni tari pertunjukan/seni hiburan sosial bisa juga dipakai pada upacara perkawinan adat Minahasa. Tari Tumatenden terdiri dari 9 putri dan 1